Tantangan Presiden Terpilih

Usai ditetapkan sebagai presiden terpilih 2019-2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah telah menanti pemerintahan Joko Widodo. Pertama, menyatukan kembali masyarakat yang terpolarisasi. Ini tugas pertama dan paling utama sebelum tugas-tugas prioritas lainnya. Jadi sudah tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada adalah persatuan Indonesia. Dengan rekonsiliasi diharapkan keteduhan politik akan muncul serta harapan baru tentang kebajikan dalam kebijakan politik akan lahir.

Kedua, menyusun kabinet berbasis meritokrasi. Lantaran sudah tidak memiliki beban elektoral apapun, Jokowi seyogyanya mampu keluar dari tarik-menarik kepentingan politik yang terlalu dalam. Sehingga pemilihan menteri harus berdasarkan keahlian, integritas, dan mereka yang mampu melalukan akselerasi pembangunan sesuai spirit Nawacita Jilid II. Tak perlu ada dikotomi antara kalangan partai dan profesional. Siapapun orangnya asalkan punya keahlian, integritas dan bisa memajukan Indonesia tentu perlu dirangkul masuk pemerintahan.

Ketiga, mengatasi kondisi perekonomian yang masih lesu. Pasalnya, persoalan ekonomi merupakan salah satu pekerjaan rumah yang cukup berat. Para investor yang sempat gamang sejak Pilpres 2019 perlu mulai diyakinkan kembali. Begitu pula soal tata kekola ekonomi, terutama soal subsidi energi ataupun soal impor. Termasuk perlambatan ekonomi global yang akan menjadi salah satu sentimen buruk menyelimuti perekonomian di tahun-tahun mendatang.

Karena itu, paca-dilantik 20 Oktober 2019 mendatang, Jokowi-KH Ma’ruf Amin diharapkan mampu mengerek pertumbuhan ekononomi lebih dari 5%. Ekonomi yang terus tumbuh bakal berdampak positif dengan perunuran kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan lainnya.

Keempat, agenda memerangi korupsi. Upaya membasmi kejahatan rasuah merupakan agenda penting lantaran kejahatan ini masih terus meruyak dan merajalela. Data Transparency International awal 2019 lalu menyebutkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih di peringkat ke-89 dari 180 negara dengan skor 38. Indonesia masih kalah dengan Malaysia yang punya skor 47 dan Singapura dengan skor 85. Tentu langkah preventif harus lebih diutamakan ketimbang langkah represif.

Kelima, upaya deradikalisasi. Upaya ini perlu masuk dalam agenda strategis karena bibit-bibit radikal rupanya telah masuk secara masif di lembaga-lembaga pendidikan. Temuan riset SETARA Institute pada Februari-April 2019 lalu misalnya cukup mengejutkan dan menghawatirkan. Sebanyak 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terindikasi sebagai pusat dan benih radikalisme. Sebelumnya, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta mencatat 50,87 persen guru di Indonesia mempunyai opini radikal dan intoleran. Guru-guru itu tersebar mulai dari tingkat TK hingga SMA.

Tak hanya itu, bibit-bibit radikalisme juga bercokol di lembaga yang selama ini jadi benteng NKRI, yakni TNI. Hal ini diungkapkan Menteri Pertahanan (Menhan), Ryamizard Ryacudu, yang menyebut ada sekitar 3% anggota TNI yang terpengaruh paham radikalisme. Tentu saja, deradikalisasi bukanlah pekerjaan mudah—seperti membalik telapak tangan. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin mendatang perlu merangkul semua elemen bangsa untuk mengatasi persoalan kognitif ini, baik secara simultan maupun berkelanjutan.

Keenam, mengutamakan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Jika di periode pertama Jokowi lebih menekankan pembangunan infrastruktur, maka periode kedua adalah SDM. Ini sejalan dengan janji politik saat kampanye. Karena itu, pengembangan sistem jaminan gizi dan tumbuh kembang anak, reformasi sistem kesehatan, revitalisasi pendidikan dan vokasi sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan perkembangan teknologi, pendidikan karakter, menumbuhkan kewirausahaan, penguatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dan lainnya, harus jadi prioritas.

Ketujuh, menyambut bonus demograsi. Bonus demografi merupakan suatu istilah mengacu kepada adanya ledakan populasi manusia yang berada pada umur produktif kerja yaitu 15-64 tahun di suatu negara. Bonus demografi biasanya hanya dialami oleh negara berkembang, yang biasanya memiliki piramida kependudukan berjenis limas.

Menurut Badan Keluarga Berencanan Nasional (BKKBN), Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, tepatnya pada retang tahun 2020-2030. Saat itu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun).

Bonus demografi adalah suatu fenomena dimana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak. Tentu bonus demograsi bisa mendatangkan berkah, atau sebaliknya mendatangkan musibah.

Mendatangkan berkah apabila kehadiran penduduk usia produktif tersebut mampu dijawab dengan baik melalui penciptaan lapangan kerja yang cukup dan pemberdayaan yang tepat. Namun akan mendatangkan musibah jika kehadiran penduduk usia produktif tersebut justru tidak terfasilitasi atau tersalurkan dengan baik. Ini juga tantangan yang tak kalah berat.

Akhirnya, saya ucapkan selamat untuk presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024. Semoga amanah dalam menjalankan roda pemerintahan. Dan mampu menjawab sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah yang ada. Semoga.

Ali Rif’an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia

*) Terbit di Koran JAWA POS, 8 Juli 2019

Share this post