MUdarat Pilkada Lewat DPRD
Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD kembali mencuat. Pemicunya ialah penilaian soal mahalnya biaya pilkada langsung dan maraknya korupsi kepala daerah. Disebutkan misalnya, calon kepala daerah tingkat bupati atau wali kota harus mengeluarkan kocek Rp15 miliar sampai Rp20 miliar dalam pilkada langsung.
Akibatnya, begitu seorang calon kepala daerah terpilih, yang paling utama dipikirkan ialah bagaimana mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk mengembalikan modal saat pilkada. Korupsi kemudian menjadi jalan keluarnya. Inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk mengevaluasi pilkada langsung.
Memang sistem pilkada langsung bukan tidak menyisakan persoalan. Persoalan pastinya ada sehingga evaluasi secara periodik perlu dilakukan. Namun, mengevaluasi sistem pilkada langsung dengan mengembalikan ke sistem lama yang kental praktik oligarki tersebut merupakan cara berpikir yang melompat dan terlampau menyederhanakan persoalan.
Jika biaya tinggi dan maraknya korupsi sebagai alasan dasarnya, maka yang perlu dievaluasi seharusnya dua hal. Pertama, sistem atau implementasi di lapangan. Misalnya melakukan kajian lebih detail soal penggunaan biaya tinggi pilkada langsung. Jika biaya tinggi digunakan untuk mahar politik atau politik uang (money politic), maka solusinya ialah penegakan hukum yang ketat.
Bila persoalannya pada pembiayaan kampanye yang tinggi, maka perlu dibuat regulasi kampanye yang lebih murah. Misalnya diperpendek rentang waktu kampanye dan membatasi pemasangan iklan-iklan politik tertentu yang terlalu mahal. Artinya, peremerintah dan DPR seharusnya mencari jalan keluar bagaimana supaya pilkada langsung tidak berbiaya tinggi, bukan malah melempar wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Kedua, pembekalan terhadap calon kepala daerah. Di sini, partai politik harus punya mekanisme yang ketat dalam menjaring calon kepada daerah. Pengkaderan berkualitas dan intensif—seperti melalui sekolah partai ataupun sekolah integritas—mutlak diberikan kepada para calon kepala daerah. Artinya, persoalan korupsi perlu diselesaikan dari hulunya, bukan hanya dari hilirnya.
Sehingga dalam mengusung calon kepala daerah, partai tidak boleh hanya terjebak pada aspek elektabilitas dan “isi tas”, namun aspek integritas dan kapabilitas perlu menjadi alasan utama mengapa misalnya figur tertentu diusung partai politik. Melalui pengkaderan yang berkualitas dan intensif, parpol punya matrik tentang kader mana yang layak diusung dan mana belum layak. Dengan mengusung kader berkualitas maka diharapkan selain dapat menghemat ongkos politik, juga mampu terhindar dari praktik korupsi.
Karena itu, mengevaluasi sistem pilkada langsung dengan cara mengembalikan pilkada oleh DPRD justru bukan mendatangkan maslahat, namun lebih banyak mendatangkan mudarat. Selain membuat demokrasi berjalan mundur, mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD juga punya ekses politik yang panjang.
Pertama, jika langkah menggantikan sistem pilkada lewat DPRD berhasil, maka tidak menuntut kemungkinan sistem pemilihan presiden secara langsung juga akan dievaluasi. Sebab, riak-riak adanya sebagian pihak yang ingin mengembalikan pemilihan presiden lewat MPR juga sempat mengemuka seiring dengan santernya rencana Amandemen UUD 1945 dan menghidupkan kembali GBHN.
Kedua, tidak ada jaminan pergantian pilkada langsung ke pilkada oleh DPRD dapat memangkas ongkos politik dan mencegah terjadinya korupsi. Artinya, jika dalam pilkada langsung seorang kandidat mengeluarkan ongkos politik untuk keperluan kampanye dan operasional lapangan lainnya, jangan-jangan pilkada lewat DPRD juga tetap merogoh kocek tidak kecil karena ada kebutuhan lobi-lobi mengamankan suara di tingkat elite.
Ketiga, akan mengerdirkan partisipasi warga. Ini jelas kemunduran besar karena menurut Robert A. Dahl (1985), salah satu ciri demokrasi sebagai sebuah ide politik modern ialah adanya persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat dan adanya partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif.
Karena pada prinsipnya, tujuan demokrasi dalam kehidupan bernegara meliputi kebebasan berpendapat dan kedaulatan rakyat. Esensi demokrasi ialah kedaulatan rakyat, yakni rakyat dilibatkan dalam proses pemerintahan, mulai dari pemilihan umum secara langsung hingga memberi aspirasi terkait kebijakan publik. Demokrasi ialah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pemerintahan dari rakyat dapat dimaknai sebagai pemerintahan yang diakui dan mendapat pengakuan serta dukungan dari rakyat. Sementara pemerintahan oleh rakyat berarti suatu pemerintahan yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat. Rakyat punya sistem pengawasan pemerintahan melalui dua jalur, yakni secara langsung (social control) dan sistem perwakilan (melalui DPR).
Adapun pemerintahan untuk rakyat mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi ataupun golongan. Di sini, pemerintah hanyalah perpanjangan tangan rakyat. Rakyat berhak memberi aspirasi dan kritik pada pemerintahan. Tentu salah satu tujuan sistem demokrasi—termasuk demokrasi langsung—ialah supaya rakyat bisa mengontrol dan mengwasi jalannya pemerintahan secara langsung. Artinya, setelah memilih, tugas rakyat berikutnya memastikan bahwa yang dipilih mampu menjalankan dan mengimplementasikan janji-janji politik yang sudah disepakati.
Selain itu, sistem demokrasi juga bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintahan agar tidak menjadi diktator dan korup. Sebab, seperti kata Putnam (1976), salah satu penyakit orang yang sedang berkuasa adalah cenderung ingin melanggengkan kekuasaannya. Lord Acton (1834-1902) juga pernah menyatakan bahwa kekuasaan cenderung korup. Lantas bagaimana jika sebuah kekuasaan pemerintahan tidak secara langsung dipilih oleh rakyat dan diawasi oleh rakyat?
Ali Rif’an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
*) Terbit di Koran TEMPO, 19 Juli 2019