Kepemimpinan ”Problem Solving”
Salah satu yang luput dalam riuh-rendah perbincangan politik 2024 ialah soal kepemimpinan seperti apa yang dibutuhkan Indonesia mendatang. Pasalnya, beberapa bulan terakhir, ruang publik lebih sesak dengan safari elite politik dan penjajakan koalisi ketimbang aktivitas diskursif yang mendatangkan problem solving (solusi) atas berbagai persoalan bangsa.
Padahal, Indonesia pascapandemi dituntut untuk melaju kencang melakukan pemulihan ekonomi akibat daya beli masyarakat yang terus menurun. Jutaan orang yang kehilangan pekerjaan saat pandemi lalu kini masih tertatih-tatih dan berharap uluran tangan. Selain itu, hadirnya era Revolusi Industri 4.0 dan Society 0.5 juga tengah menggeser dan menghilangkan berbagai posisi pekerjaan masa kini dan di masa depan.
Hasil riset McKinsey Global Institute, misalnya, mencatat hingga tahun 2030 Indonesia diprediksi kehilangan 23 juta pekerjaan. Tak heran jika temuan riset The Indonesian Institute bertajuk ”Persepsi Anak Muda Jelang Pemilu 2024” menyebutkan bahwa para generasi muda ingin lapangan kerja (15,12 persen) menjadi isu utama yang harus diusung oleh calon presiden 2024, selain isu pemberantasan korupsi (13,06 persen) dan peningkatan kualitas pendidikan (11,34 persen).
Artinya, ada tren perilaku pemilih yang berubah antara prapandemi dengan pascapandemi. Jika pada prapandemi publik lebih menginginkan pemimpin jujur dan merakyat, pascapandemi rakyat ingin pemimpin yang adaptif dan bisa menjadi problem solver. Di titik inilah diskursus kepemimpinan problem solving menemukan relevansinya dalam centang-perenang politik 2024.
Berorientasi kepada solusi
Kepemimpinan problem solving merupakan model kepemimpinan yang berorientasi kepada solusi dan secara konkret mampu meningkatkan peran kontributif terhadap pembangunan bangsa. Oemar Hamalik (1999) mengartikan problem solving sebagai suatu proses mental dan intelektual di dalam menemukan masalah untuk memecahkannya berdasarkan data serta informasi akurat sehingga mampu mendapatkan kesimpulan dengan cermat dan cepat.
Di tengah sengitnya pertarungan geopolitik dan kompleksnya tantangan dunia saat ini, kepemimpinan problem solving merupakan sebuah keniscayaan. Mulai dari pemulihan ekonomi dunia, sistem pertahanan siber, persoalan lingkungan hidup, dan perubahan iklim global, hingga ketegangan Rusia-Ukrania yang bisa memicu terjadinya Perang Dunia III. Dalam situasi itu, seorang pemimpin dituntut untuk bergerak lebih cepat dan hadir sebagai problem solver, bukan justru menjadi trouble maker (pembuat masalah).
Kita sepakat bahwa esensi suksesi kepemimpinan ialah mencari figur terbaik dari yang baik. Karena itu, tidak boleh ada tawar-menawar bahwa pemimpin yang dihasilkan dari proses pesta demokrasi haruslah pemimpin yang bisa secara konkret memberikan jalan keluar atas persoalan bangsa. Ini penting lantaran salah satu produk utama pemilu adalah mampu menghadirkan pemimpin yang lebih baik dari pemimpin masa lalu.
Karena itu, partai politik sebagai organisasi yang legal-konstitusional—sekaligus pemegang boarding pass—untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden perlu punya landasan kokoh dalam mejaring para figur kandidat. Semua partai politik memang ingin menang dalam pemilu, tetapi mengusung kandidat yang mampu membumikan kepemimpinan problem solving amatlah penting.
Efek elektoral
Sejarah membuktikan bahwa kepemimpinan problem solving bisa mendulang insentif, baik dari sisi elektoral maupun approval rating seorang pemimpin. Marcus Mietzner dalam Indonesia in 2009: Electoral Contestation and Economic Resilience (2010), misalnya, mengatakan bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu kunci kemenangan telak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pilpres 2009. Selain punya program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menjadi problem solving atas persoalan ekonomi rakyat saat itu, saat dunia dilanda krisis global tahun 2008 dan berbagai negara porak-poranda ekonominya, Indonesia di bawah kepemimpinan SBY juga masih mampu bertahan.
Hal sama terjadi ketika dunia dihantam badai pandemi Covid-19 yang menyebabkan berbagai pemimpin negara di belahan dunia pamornya anjlok, tetapi Presiden Jokowi justru mendapatkan tingkat kepuasan kinerja (approval rating) relatif tinggi menurut berbagai hasil survei. Ini lantaran saat pandemi, selain mampu menjaga inflasi, Presiden Jokowi juga mengeluarkan program-program yang langsung menyentuh ke jantung persoalan masyarakat. Sebut saja Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT)/Program Sembako, Bantuan Sosial Tunai (BST), dan lain-lain.
Artinya, konsep kepemimpinan problem solving perlu menjadi dasar esensial bagi partai politik dalam menentukan figur capres-cawapres. Apalagi, dalam sejarahnya, teori efek ekor jas (coattail effect)—yakni pengaruh figur dalam meningkatkan suara partai di pemilu—terbukti cukup efektif di Indonesia.
Sebagai contoh, kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 tidak bisa dilepaskan dari faktor figur SBY. Demikian pula pecah rekor PDI-P yang mampu memenangi pemilu dua kali berturut-turut (2014 dan 2019) sedikit banyak tentu dipengaruhi oleh figur Jokowi.
Selain itu, studi tentang perilaku pemililih sejak Pemilu 1999 juga menemukan satu kesimpulan bahwa politik aliran di tingkat massa pemilih kini makin memudar. Massa pemilih cenderung kurang memedulikan aliran masing-masing partai politik (Liddle dan Mujani, 2000), sehingga perilaku pemilih menjadi sangat cair. Figur capres kemudian menjadi faktor penentu konfigurasi koalisi lantaran semua partai berebut efek ekor jas.
Akhirnya, mengusung capres-cawapres 2024 yang mampu menjalankan kepemimpinan problem solving merupakan idealitas politik yang perlu diperjuangkan oleh partai politik. Ini merupakan win-win solution yang baik untuk semua. Di satu sisi, kepentingan bangsa di masa mendatang dapat terakomodir, di sisi lain partai juga dapat mendulang ”berkah elektoral” dari figur kandidat yang diusung. Semoga.
Ali Rif’an, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia; Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia
*) Terbit di Harian KOMPAS, 30 Juli 2022
Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/27/kepemimpinan-problem-solving